Ekonomi

8 Dampak Covid bagi Buruh Versi FSBPI: PHK Hingga Eksploitasi – Kabar Ekonomi

[ad_1]

Jakarta, SIARKABAR.com —

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi menyatakan pandemi Covid-19 telah berdampak buruk pada sektor tenaga kerja, khususnya buruh. Setidaknya, ada delapan dampak yang dirasakan kaum buruh akibat wabah tersebut sepanjang 2020.

Pertama, buruh dipaksa tetap bekerja dengan risiko terpapar Covid-19. Dian menjelaskan beberapa perusahaan tetap mewajibkan buruh tetap bekerja di kantor di masa pandemi.

“Berdasarkan penelitian terhadap buruh di Jabodetabek, Karawang, dan Jawa Tengah, sebanyak 67,81 persen butuh masih harus berangkat bekerja,” ucap Dian dalam konferensi pers secara virtual, Sabtu (19/12).







Selain itu, buruh yang diwajibkan tetap bekerja juga tak mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai untuk melindungi diri dari Covid-19. Dengan demikian, buruh terpaksa membeli sendiri beberapa barang untuk memenuhi protokol kesehatan.

“Sebanyak 25,25 persen buruh bekerja tanpa sama sekali menerima fasilitas kesehatan dari perusahaan. Padahal, orang bisa terpapar covid-19 tanpa menunjukkan gejala,” kata Dian.

Kedua, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan pemangkasan upah. Dian menjelaskan jumlah buruh yang terkena PHK dan dirumahkan sebanyak 3,5 juta orang hingga 31 Juli 2020.

“Sementara berdasarkan penelitian terhadap buruh di Jabodetabek, Karawang, dan Jawa Tengah sebanyak 28,8 persen buruh dirumahkan dan sebanyak 65,85 persen tidak mendapatkan upah sama sekali,” jelas Dian.

Selain itu, ia merasa pandemi Covid-19 seolah menjadi pembenaran bagi perusahaan untuk tak menaikkan upah buruh. Menurut Dian, sikap Kementerian Ketenagakerjaan yang menyerahkan penentuan upah pada perundingan – buruh dan perusahaan adalah tindakan melepas tanggung jawab.

“Dengan bersembunyi di balik kalimat kesepakatan – buruh dan pengusaha yang seolah demokratis, sebenarnya merupakan strategi licik yang bersembunyi di balik alasan menurunnya permintaan pasar,” jelas Dian.

Ketiga, ketiadaan kepastian kerja. Dian menuturkan buruh harus selalu siap-siap bisa kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu akibat pandemi covid-19.

“Penghasilan tidak menentu dan kejelasan masa depan yang kain buram,” imbuh Dian.

Keempat, bantuan sosial (bansos) tak sampai ke tangan buruh. Dian mengklaim bantuan yang dijanjikan pemerintah tak dirasakan oleh sebagian buruh.

Padahal, buruh berharap bantuan itu bisa membantu mereka bertahan hidup di masa pandemi Covid-19. Salah satu alasan beberapa buruh tak mendapatkan bantuan, yakni tidak terdata sebagai warga setempat karena dianggap pendatang, sehingga tidak memiliki kartu tanda pengenal (KTP) setempat.

“Padahal sebagian besar buruh merantau ke kota dan telah berkontribusi pada berjalannya roda ekonomi. Buruknya data pemerintah terkait penerima bansos hanya menunjukkan buruknya sistem jaminan sosial pemerintah,” papar Dian.

Kelima, pengusiran buruh migran yang tak memiliki dokumen. Dian menyatakan semakin banyak buruh yang bekerja di luar negeri diusir di masa pandemi covid-19.

“Hadirnya pandemi semakin meningkatkan gelombang pengusiran buruh migran Indonesia tak memiliki dokumen yang bekerja di luar negeri, terutama buruh migran yang bekerja di perkebunan Sabah, Malaysia,” tutur Dian.




Dian Septi, Buruh Federasi Buruh Lintas PabrikDian Septi, Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia. (Foto: SIARKABAR.com/Dhio Faiz)

Keenam, eksploitasi buruh perkebunan. Menurut FSBPI, terdapat temuan maraknya kekerasan seksual terhadap buruh perempuan sawit.

“Temuan itu menunjukkan bagaimana buruh perempuan sawit dieksploitasi baik secara kerja maupun seksual,” katanya.

Ketujuh, banyak buruh masuk ke sektor informal. Dian menjelaskan beberapa buruh yang tak lagi muda terpaksa bekerja di sektor informal di tengah ketidakpastian kerja saat pandemi covid-19.

Kondisi di sektor informal, kata Dian, jauh lebih buruk ketimbang bekerja di sektor formal. Hal ini salah satunya dari sisi gaji.

“Sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu membuat pengurangan upah semakin mungkin terjadi di sektor pekerjaan informal,” ucap Dian.

Selain itu, perlindungan hukum bagi buruh juga minim. Dengan demikian, hak buruh untuk bernegosiasi mengenai haknya kepada pemilik usaha tempatnya bekerja akan semakin sulit.

Kedelapan, pandemi memiskinkan buruh perempuan. Dian menuturkan buruh perempuan seringkali diabaikan.

Menurutnya, proses reproduksi seksual pada buruh perempuan seringkali dianggap hambatan produktifitas. Perusahaan banyak yang tidak mempertimbangkan target produksinya dengan kesehatan reproduksi perempuan.

“Sistem kerja berdasarkan target merupakan contoh paling konkret pengabaian kesehatan reproduksi perempuan,” tutup Dian.

(aud/arh)

[Gambas:Video CNN]




[ad_2]

Source

Editor

Kesal Koleksi Film Dewasa Dibuang Orangtua, Pria Ini Tuntut Rp 350 Juta – Lifestyle

Previous article

Microsoft Store Tampilkan Label Peringatan di Game Cyberpunk 2077 – Kabar Tekno

Next article

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *